Di Indonesia, sejak tahun 1968–1999, perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang merayakan imlek di depan umum.
Tahun baru imlek di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid menjabat. Kemudian Presiden Abdurrahman Wahid menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Baru pada tahun 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003.
Penetapan Pemerintah mengenai “Aturan tentang Hari Raya” ditetapkan karena pertimbangan perlunya diadakan aturan tentang hari raya, dan setelah mendengar masukan dari Badan Komite Nasional Pusat. Penetapan Pemerintah tersebut terdiri dari 8 (delapan) pasal yang dibagi ke dalam Aturan Umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 5), Aturan Khusus (Pasal 6 dan Pasal 7), dan Aturan Tambahan (Pasal 8).
Yang dimaksud dengan Aturan Umum adalah aturan yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh golongan rakyat Indonesia. Aturan Khusus adalah aturan yang bersifat khusus dan hanya berlaku untuk golongan tertentu saja sebagaimana yang disebutkan dalam Penetapan Pemerintah ini. Pasal 1 mengatur mengenai Hari Raya Umum yang terdiri dari dua hari raya sebagai-berikut: 1. Tahun Baru, 1 Januari; dan 2. Hari Proklamasi Kemerdekaan, 17 Agustus. Pasal 2 mengatur mengenai Hari Raya Islam (terdiri dari 8 (delapan) hari raya). Pasal 3 untuk Hari Raya Kristen (terdiri dari 5 (lima) hari raya). Pasal 4 mengatur hari raya khusus untuk etnis Tionghoa sebagai-berikut: Hari Raya Tiong Hwa (ejaan baru adalah Tionghoa) ialah, terdiri dari: 1.Tahun Baru (Catatan: Tahun Baru orang Tiong Hwa yaitu tahun baru Imlek); 2. Hari Wafatnya N. Khong Hu Cu (Catatan: 至聖忌辰 18 bulan 2 Imlek. ‘N.’ adalah singkatan dari ‘Nabi’); 3. Tsing Bing (Catatan: Qingming (清明) / Cheng Beng (Bahasa Hokkian); dan 4. Hari Lahirnya N. Khong Hu Cu (Catatan: 至聖誕, 27 bulan 8 Imlek).
Pasal 5 menyatakan sebagai berikut: “Pada Hari Raya Umum, Islam dan Kristen, maka semua kantor Pemerintah ditutup, kecuali kantor-kantor pejabatan penting yang menurut pendapat kepalanya harus dibuka sehari atau setengah hari. Pada hari Raya Tiong Hwa, maka semua kantor Pemerintah dibuka setengah hari, kecuali kantor-kantor pejabatan penting yang menurut pendapat kepalanya harus dibuka sehari, sedangkan pegawai bangsa Tiong Hwa diwajibkan masuk kantor“. Aturan Khusus, Pasal 6 menetapkan tanggal dan hari yang dirayakan untuk Tahun 1946, yang terdiri dari hari dan tanggal untuk Hari Raya Umum, Hari Raya Islam, Hari Raya Kristen, dan Hari Raya Tiong Hwa. Untuk tahun 1946, “Hari Raya Tiong Hwa ditetapkan sebagai-berikut: 1.Tahun Baru 2 Februari 1946 (Catatan: Tahun Masehi); 2. Hari Wafatnya N. Khong Hu Cu 29 Maret 1946 (Catatan: Tahun Masehi); 3. Tsing Bing 5 April 1946 (Catatan: Tahun Masehi); dan 4. Hari Lahirnya N. Khong Hu Cu 22 September 1946 (Catatan: Tahun Masehi)“. Aturan Khusus, Pasal 7 menyatakan bahwa “untuk seterusnya, buat tiap-tiap tahun, Hari Raya tersebut ditetapkan oleh Menteri Agama“. Aturan Tambahan, Pasal 8 menyatakan bahwa “Peraturan ini mulai berlaku pada hari diumumkan“. Dengan demikian berdasarkan Penetapan Pemerintah 1946 No.2/Um tentang “Aturan tentang Hari Raya” tertanggal 18 Juni 1946 secara tegas dapat dinyatakan bahwa Hari Raya Tahun Baru Imlek Kongzili merupakan hari raya Agama Tionghoa yang ditujukan khusus hanya kepada etnis Tionghoa.”
Hari Raya khusus etnis Tionghoa yang terdiri dari 4 (empat) hari raya sebagaimana yang dijelaskan di atas hanya berlaku dari periode 18 Juni 1946 sampai dengan 1 Januari 1953. Hari Raya khusus etnis Tionghoa tersebut dihapuskan seluruhnya secara resmi melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953 tentang “Hari-Hari Libur” tertanggal 1 Januari 1953, yang ditanda-tangani oleh Wakil Presiden Republik Indonesia H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer sebagai Bung Hatta dengan masa jabatan sebagai Wakil Presiden dari tanggal 18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956). Catatan: Walaupun menggunakan judul surat “Keputusan Presiden Republik Indonesia”, keputusan ini tidak ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia. Besar Kemungkinan Presiden Soekarno tidak mengetahui isi surat Keputusan Presiden yang diterbitkan oleh Wakil Presiden. Pasal 1 dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953 tersebut hanya menetapkan Hari Raya Umum (Catatan: Terdiri dari 2 hari raya), Hari Raya Islam (Catatan: Terdiri dari 6 hari raya ditambah 1 hari untuk Id’l Fitri hari kedua) dan Hari Raya Kristen (Catatan: Terdiri dari 5 hari raya) serta 1 (satu) Hari Raya Buruh (yang dirayakan setiap tanggal 1 Mei), sebagai hari libur nasional. Dengan demikian mulai 1 Januari 1953, hari libur umum yang berlaku berjumlah seluruhnya 14 hari libur. Sesuai dengan isi paragraph Penjelasan dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1953, paragraph ke-4 menyatakan sebagai berikut: “Hari-hari libur fakultatif ditiadakan. Pada hari-hari Santa Maria (15 Agustus), Natal Kedua (26 Desember), permulaan Ramadhan, Peringatan Angkatan Perang (5 Oktober), Pahlawan (10 November) dan Tahun Baru Imlek, bagi yang berkepentingan diberi kebebasan untuk menjalankan peribadatannya dengan lebih dahulu memberitahukan kepada Kepala Kantor yang bersangkutan“. Paragraf ke-4 tersebut dengan tegas meniadakan hari libur yang bersifat fakultatif. Bagi pegawai etnis Tionghoa yang berkepentingan untuk merayakan Hari Raya Tahun Baru Imlek diberi kebebasan untuk menjalankan peribadatannya dengan syarat harus lebih dahulu memberitahukan kepada Kepala Kantor yang bersangkutan.
Orang Tionghoa yang pertama kali mengusulkan larangan total untuk merayakan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa di Indonesia kepada Presiden Soeharto sekitar tahun 1966-1967 adalah Kristoforus Sindhunata alias Ong Tjong Hay. Namun, Presiden Soeharto merasa usulan tersebut terlalu berlebihan, dan tetap mengizinkan perayaan Imlek, adat istiadat, dan budaya Tionghoa namun diselengarakan hanya di rumah keluarga Tionghoa dan di tempat yang tertutup, hal inilah yang mendasari diterbikannya Inpres No. 14/1967.
Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh Upacara Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Instruksi Presiden ini bertujuan mengeliminasi secara sistematis dan bertahap atas identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap Kebudayaan Tionghoa termasuk Kepercayaan, Agama dan Adat Istiadatnya. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, seluruh Perayaan Tradisi dan Keagamaan Etnis Tionghoa termasuk Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Pehcun dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Demikian juga tarian barongsai dan liong dilarang dipertunjukkan.
Pada tahun itu pula dikeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 dan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978 yang isinya menganjurkan bahwa WNI keturunan Tionghoa yang masih menggunakan tiga nama untuk menggantinya dengan nama Indonesia sebagai upaya asimilasi. Hal ini didukung pula oleh Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB).
LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) menganjurkan keturunan Tionghoa, antara lain, agar:
– Mau melupakan dan tidak menggunakan lagi nama Tionghoa.
– Menikah dengan orang Indonesia pribumi asli.
– Menanggalkan dan menghilangkan agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa, termasuk bahasa maupun semua kebiasaan dan kebudayaan Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari, termasuk larangan untuk perayaan tahun baru imlek.
Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang berada di bawah Bakin (kini BIN) yang menerbitkan tak kurang dari tiga jilid buku masing-masing setebal 500 halaman, yaitu “Pedoman Penyelesaian Masalah Cina” jilid 1 sampai 3. Dalam hal ini, pemerintahan Soeharto dengan dengan tegas menganggap keturunan Tionghoa dan kebiasaan serta kebudayaan Tionghoa, termasuk agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa sebagai “masalah” yang merongrong negara dan harus diselesaikan secara tuntas.
Kemudian dengan diterbitkannya SE Mendagri No.477 / 74054 tahun 1978 tertanggal 18 Nopember 1978 tentang pembatasan kegiatan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina, yang berisi antara lain, bahwa pemerintah menolak untuk mencatat perkawinan bagi yang Beragama Khonghucu dan penolakan pencantuman Khonghucu dalam kolom Agama di KTP, yang didukung dengan adanya kondisi sejak tahun 1965-an atas penutupan dan larangan beroperasinya sekolah-sekolah Tionghoa, hal ini menyebabkan terjadi eksodus dan migrasi identitas diri sebagian besar orang-orang Tionghoa ke dalam Agama Kristen sekte Protestan, dan sekte Katolik, Buddha bahkan ke Islam. Demikian juga seluruh perayaan ritual kepercayaaan, agama dan adat istiadat Tionghoa termasuk perayaan Tahun Baru baru Imlek menjadi surut dan pudar.
Pada tanggal 17 Januari 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres N0.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa diberikan kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya termasuk merayakan Upacara-upacara Agama seperti Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya secara terbuka.
Pada Imlek 2551 Kongzili pada tahun 2000 Masehi, Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) mengambil inisiatif untuk merayakan Imlek secara terbuka sebagai puncak Ritual Agama Khonghucu secara Nasional dengan mengundang Presiden Abdurrahman Wahid untuk datang menghadirinya. Pada tanggal 19 Januari 2001, Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia telah melakukan inventarisasi hari-hari penting di Indonesia, dan mengelompokkannya ke dalam 5 (lima) kelompok, yaitu: 1. Hari-Hari Besar Nasional yang Ditetapkan oleh Presiden; 2. Hari-Hari yang Ditetapkan oleh Masing-Masing Menteri/Kepala Lembaga; 3. Hari-Hari yang Ditetapkan/Disepakati oleh Masing-Masing Lembaga/Komunitas Tertentu; dan 4. Hari-Hari Besar Keagamaan. Hari Tahun Baru Imlek masuk ke dalam kelompok Hari-Hari Besar Nasional, dan kelompok Hari-Hari Besar Keagamaan. Hari Tahun Baru Imlek merupakan 1 (satu) dari 42 (empat puluh dua) Hari-Hari Besar Nasional yang Ditetapkan oleh Presiden, dan merupakan 1 (satu) dari 11 (sebelas) Hari-Hari Besar Keagamaan di Indonesia. Di dalam kolom keterangan yang disusun oleh Sekretariat Kabinet Republik Indonesia mengenai Hari-Hari Besar Keagamaan di Indonesia dinyatakan bahwa Hari Tahun Baru Imlek dirayakan hanya oleh Umat Tionghoa.
Keputusan Presiden RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Tahun Baru Imlek yang berlaku sejak tanggal 9 April 2002 ditetapkan karena adanya pertimbangan bahwa penyelenggaraan kegiatan agama, kepercayaan, dan adat istiadat, pada hakikatnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hak asasi manusia, dan Tahun Baru imlek merupakan tradisi masyarakat Tionghoa yang dirayakan secara turun-temurun di berbagai wilayah Indonesia. Mengingat Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, dan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, maka ditetapkanlah Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Nasional.