Situasi ekonomi global yang belum menentu dan harga komoditas unggulan yang masih cenderung berfluktuasi memberikan dampak pada kinerja perekonomian Indonesia. Tekanan pada perekonomian makin terasa, karena konsumi dan investasi sebagai mesin utama pertumbuhan belum kembali kepada kinerja terbaiknya. Bahkan, kinerja konsumsi (daya beli) yang berkontribusi lebih dari 50 persen terhadap PDB cenderung melambat, khususnya pada kelompok menengah bawah. Itulah sebabnya, dalam dalam dua tahun terakhir, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung flat di level 5 persen.
Bahkan, tahun ini, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen sulit dicapai, jika tidak ada terobosan kebijakan dari pemerintah, khususnya dalam menstimulasi daya beli. Memang, dibandingkan dengan negara lain, khususnya di antara negara kelompok G-20, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah cukup baik. Indonesia hanya berada di bawah China dan India. Perlu juga dicatat bahwa tidak banyak negara yang bisa mencapai pertumbuhan di level 5 persen, apalagi di tengah lanskap ekonomi dunia yang sedang menuju era normal baru (new normal). Pertumbuhan rendah telah menjadi kondisi normal baru dalam beberapa tahun ke depan. Meski begitu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetap dibutuhkan Indonesia. Alasannya, karena Indonesia sedang berada dalam era bonus demografi (usia muda dan produktif), di mana jumlah pencari kerja bar uterus masuk ke pasar tenaga kerja. Jumlahnya diperkirakan sekitar 1,5 juta-2 juta orang.
Padahal, saat ini, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya bisa menyerap tenaga kerja baru sekitar 250.000 orang. Artinya, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen, maka cukup banyak dari pencari kerja baru ini yang terpental. Jika kondisi ini terus terjadi maka upaya pemerintah untuk memangkas pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan makin menemui jalan terjal. Padahal, menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat merupakan janji konstitusi. Investasi besar Itulah sebabnya, agar pertumbuhan ekonomi dapat didorong lebih tinggi, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tercipta, khususnya di sektor formal, maka investasi yang besar sangat dibutuhkan, khususnya investasi global, mengingat terbatasnya kapasitas tabungan domestik untuk membiayai investasi.
Setidaknya, hal ini tecermin dari rasio total kredit perbankan terhadap PDB yang hanya di level 30-35 persen. Padahal, di negara tetangga sudah lebih dari 50 persen. Bahkan, China lebih dari 100 persen terhadap PDB. Sayangnya, tidak mudah untuk menarik investasi global ini, khususnya di tengah kelesuan ekonomi global. Semua negara bersaing merebutnya. Tentu, hanya negara yang mampu menyediakan berbagai kemudahan yang akan disinggahi oleh investasi global ini. Sayangnya, Indonesia masih tertinggal dalam menyediakan berbagai kemudahan ini. Setidaknya, ini dapat dilihat dari hasil survei Bank Dunia dalam Ease of Doing Business tahun 2014 yang menempatkan Indonesia di peringkat 120 dari 189 negara.
Dan, salah satu faktor yang membuat rendahnya kemudahan berusaha ini ialah buruknya kondisi infrastruktur. Sejak krisis tahun 1997/98, praktis pembangunan infrastruktur Indonesia tertinggal dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Singapura. Sektor infrastruktur belum dijadikan sebagai prioritas dalam kebijakan ekonomi pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari minimnya alokasi belanja infrastruktur dibandingkan dengan alokasi belanja subsidi, khususnya subsidi sektor energi. Buruknya kondisi infrastruktur ini berdampak langsung pada rendahnya daya saing perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari tingginya biaya logistik di Indonesia yang mencapai 24 persen dari biaya produksi. Bandingkan dengan Thailand (13 persen) serta Vietnam dan Malaysia (15 persen). Infrastruktur Itulah sebabnya, tidak ada jalan lain untuk mendorong daya saing perekonomian, selain mempercepat pembangunan infrastruktur yang diikuti dengan penyederhanaan regulasi dan perizinan.
Dan, inilah yang menjadi fokus kerja pemerintahan Jokowi-Kalla dalam tiga tahun terakhir. Setidaknya sampai tahun 2017, ada 244 proyek strategis nasional (PSN) yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan nilai investasi lebih dari Rp 4.000 triliun. Beberapa dari proyek itu telah selesai dikerjakan. Namun, mengingat besarnya investasi untuk merealisasikan proyek-proyek infrastruktur ini, maka pemerintah harus terus melakukan berbagai kebijakan untuk menggali sumber-sumber pembiayaan. Dari sisi anggaran (APBN), pemerintah harus melakukan berbagai kebijakan. Salah satunya dengan memangkas belanja subsidi sektor energi secara signifikan dan menggesernya untuk belanja infrastruktur. Sejak tahun 2014, belanja untuk infrastruktur meningkat sangat signifikan.
Dan, diharapkan akan terus berlanjut ke tahun berikutnya, sehingga diharapkan bisa mengejar negara lainnya, seperti China dan India yang belanja infrastrukturnya terhadap PDB telah di atas 7 persen. Saat ini, Indonesia hanya di level 4 persen. Selain dari APBN, pemerintah juga aktif melibatkan peran BUMN, khususnya BUMN sektor karya. Bahkan, pemerintah telah menyuntikkan penyertaan modal negara (PMN) sepanjang tahun 2015-2016 agar leverage BUMN meningkat. Harapannya, BUMN dapat mencari lebih banyak sumber pendanaan, khususnya yang berasal dari pasar modal, karena lebih cocok dengan karakteristik pembiayaan infrastruktur dibandingkan dengan pinjaman dari sektor perbankan. BUMN bisa mengeluarkan produk-produk yang bisa dijual di pasar modal, obligasi, EBA, RDPT, sekuritisasi aset. Produk ini sangat diminati oleh pemodal.
Pemerintah juga aktif melibatkan swasta melalui mekanisme kerja sama private public partnership (PPP). Meskipun begitu, pemerintah harus dapat mencari skema kerja sama, di mana proyek infrastruktur tersebut memiliki potensi yang menguntungkan secara bisnis dan adanya sweetener, misalnya untuk menarik minat sektor swasta. Bukan itu saja, pemerintah daerah juga diharapkan lebih banyak terlibat untuk mengarahkan belanjanya ke sektor infrastruktur dan bukan lagi sekadar menempatkan di sektor keuangan (BPD) yang tidak memberi stimulus pada perekonomian daerah. Apalagi, sejak tahun 2014, alokasi transfer daerah dan dana desa terus mengalami peningkatan secara signifikan. Tahun ini nilainya mencapai Rp 765 triliun atau 37 persen dari total belanja di APBN 2017. Jumlah dana yang sangat besar untuk menggerakkan potensi-potensi ekonomi yang ada di daerah. Di sinilah dibutuhkan pemimpin-pemimpin daerah yang memiliki visi dan kreatif. Pemimpin yang berjiwa driver dan bukan passenger.
Source : Kompas